Tulisan ini berawal dari potongan masa-silam ketika usiaku belum tergenapi di angka 10, kehadiran sosok belia bernama Yodhe
yang kemudian menghilang beberapa tahun sebelum aku mampu beranjak dari
bangku sekolah dasar, menyisakan teka-teki panjang hingga menyeret dan
membuatku terjebak di kota tetangga tanpa pengawasan dan pegangan dari
tangan kedua Orang Tuaku. Disanalah aku tumbuh menjadi salah satu anak
jalanan, menelantarkan harapan kemarin demi dapat bertahan dalam
kemelut hukum rimba yang masih melekat erat sebagai kebudayaan.
Namun menjelang tahun ketiga, khayalan kemarin akhirnya terlahir sebagai bongkahan kenyataan. Aku berhasil menemukan Yodhe beserta keluarga besarnya secara tidak disengaja, ketika sedang mengamen disalah satu warung dadakan yang menjamur di kota itu. Akan tetapi posisi tempatku berpijak hanya ditangkap dalam tatapan sebelah mata oleh pihak keluarga Yodhe, mereka melarangku untuk kembali mendekati belia tersebut. Sejak saat itulah kuputuskan melanjutkan pendidikanku yang pernah terhenti dan menghilang dari jalanan untuk sementara waktu.
Dipelarianku, seorang saudagar yang harusnya kupanggil Ayah, memberiku pekerjaan dan peluang untuk menjadi peserta didik disebuah sekolah kejuruan milik pemerintah Kota Idaman setelah sebelumnya Beliau mengetahui keberhasilanku dalam mengikuti program belajar paket golongan B. Aku berusaha agar sebisa mungkin bertahan di sekolah itu demi membuktikan pada keluarga Yodhe bahwa "tidak semua Pecundang yang terlahir dalam lumbung keterpurukan harus berakhir dikubangan kegagalan...
Pada semester perdana menjadi salah satu peserta didik disekolah itu, batinku tiba-tiba terguncang dengan kehadiran sosok gadis bernama Malla, paras cantiknya berhasil menjadi bagian terbaik dalam bunga bunga tidurku. Kami memang berada pada tingkat dan jurusan yang sama, kesempatan inilah yang hampir kupergunakan untuk membunuh Catatan Kelam Yodhe namun akhirnya kusadari bahwa kenangan itu masih sangat membekas hingga tak mudah tergantikan. Dengan segenap kemampuan kucoba memendam perasaanku kepada Malla lebih dalam dari sebelumnya, aku yakin mampu menepis segala tentangnya pada balutan rindu yang lama terbelenggu sebuah masa lalu.
Lambat laun karena semakin sering kumenyimpannya, lamunan lamunan itu kian menyiksa. Aku terkapar dipenghujung tanduk dilema, ketika ditangan kiriku masih tergenggam Catatan Kelam Yodhe, disudut lain kudapati Baitan Bungkam Malla yang terasa kian memperbudak perasaan dalam setiap kesempatan bersama. Hal inilah yang mengajariku lari dan bersembunyi disetiap tatapan Malla yang terkadang berhasil menyentuh langkah bisuku dalam kebungkamannya.
Keterbelakanganku selama itu menjadi bomerang tajam dalam alenia ini, Malla berhasil terpikat dan dimiliki oleh beberapa rekanku sendiri yang juga menjadi peserta didik di sekolah itu, sementara aku hanya mampu bersikap tenang ketika menerima kenyataan pahit itu sebagai sebuah timbal balik dalam pendirianku. Sejak saat itulah kucoba untuk secepat mungkin menelantarkan Catatan Kelam Yodhe yang sudah cukup lama bertahan dalam pikiranku. Dari Malla, sejatinya perasaan itu tidak hanya sebatas memiliki, ia harus terbiasa memberi serta mengisi setiap keadaan yang pernah terpungkiri...
Berangkat ke semester ganjil tahun ajaran kedua, kuputuskan untuk bangun dari ketepurukan dan berusaha menanam benih kasih-sayang pada sosok perempuan bernama Wiema, salah satu peserta didik yang juga berada di posisi Malla. Disana banyak hal berbeda dari sebelumnya coba kulakuan agar dapat meyakinkan Wiema tentang kesungguhan perasaanku, aku berusaha mendapatkan daratan terlarang dalam kehidupannya dengan keadaanku yang terlihat apa adanya. Semampuku hadir disetiap lara yang coba menghantui perjalanannya disekolah itu, sungguh sepenuhnya perhatian berlebihku di dua semester pada tingkatan itu telah tertumpah hanya untuk bersama dirinya.
Namun hubungan diantara kami tidak bertahan lama ketika palung palung perbedaan semakin menjurang dan terlalu sulit untuk kujembatani, aku merasa mulai lelah berada di dua daratan berbeda, segala yang pernah kupertaruhkan selama bersama Wiema ternyata membawa pengaruh negatif pada permaian guitarku yang semakin lalai dan berantakan akibat sering absen latihan. Secepatnya kucoba memilah pijakan terakhir agar tidak jatuh dan cedera didasar jurang penyesalan, aku tidak mungkin berada di dua daratan berbeda dalam waktu yang sama, diantara Wiema dan Mereka.
Disaat kecemasanku masih bersandar pada reruntuhan ragu, seberkas cahaya terang dari satu Bintang masa silam datang mengajakku terbang menghilang. Ia mengajarkanku bahasa kegagalan untuk menebus ketenangan dimasa depan, membuatku berani lari dari Daratan Terlarang Wiema agar dapat kembali membenahi nada nada yang hilang dalam permainan guitarku dan sejak saat itulah aku terlihat semakian berani untuk berdiri menjawab hari esok...
Selepas kepergian Wiema yang pernah menemani langkahku sebelum tiba di semester ke empat, Bintang terang yang menyelamatkanku dari daratan terlarang itu sirna ketika Sang Fajar telah kutemukan. Bintang itu bernama Ameiy, sosok perempuan yang terkadang kupanggil kakak atas perbedaan usia diantara kami meski terbilang semu. Aku mengenalnya jauh sebelum ditemukan oleh mereka, kami terpisah selama beberapa tahun hingga bertemu kembali dipenghujung semester ketiga milikku. Meski usia, budaya dan iman kami berseberangan, hal itu tidak menjadi halangan berarti atau membuat kami saling menjatuhkan. Aku sangat menghargai keputusan dari kakak angkat perempuanku itu karena sebaliknya dengannya juga selalu begitu terhadapku.
Kebersamaan kami dikesempatan kedua berlangsung sangat singkat, Tuhan memanggilnya dengan jalan yang mengerikan. Ameiy tewas menggenaskan dikamar tidur kediaman pribadinya akibat penyakit serius yang sudah cukup lama diderita, sungguh aku tidak pernah menyangka jika dibalik canda tawa lesung pipitnya, terbenam sebuah penderiataan hingga berhasil menggores dalam kematian dan meski air dari mataku bicara, ia tak akan mungkin kembali kedunia, walau kucoba membeli waktu dimasa lalu hanya untuk sejenak memutar roda kehidupannya tidak akan mungkin mampu untuk mengulang semuanya seperti dulu lagi.
Selamat jalan Kak, tidurlah dengan tenang. Akan kujaga kenangan terindahmu meski kita telah didunia berbeda, karena aku tahu tidak akan ada yang mampu untuk menjadi seperti dirimu...
Disemester ini, semester kelima aku terlihat sedikit lemah setelah cukup lelah dalam mencari, membungkam, memilih dan mempertahankan. Ketika segenap hasratku untuk mengejar insan hawa secara berlebihan mulai tumbang, sosok cewek bernama Decka terperangkap menemani keseharianku disebuah pulau mungil dalam perjalananku mengarungi semester itu. Pihak sekolah mungkin telah salah kaprah ketika harus memilih Decka sebagai salah satu rekan timku di ekspedisi hijau itu, aku dan dia punya sejuta sifat mencolok dari dua kutub berbeda. Decka anak yang rajin belajar, taat beribadah dan gemar menabung juga setia kawan. Sedangkan semua tentangku adalah bagian yang tidak mungkin ada dalam dirinya, membuat kami sangat mustahil dapat hidup dengan rukun di pulau mungil tersebut karena disepanjang perjalanan, kami hanya melakukan pertempuran pendapat dan saling silang siasat yang teramat dasyat ketika diperkenankan memilih jawaban untuk mencari jalan keluar dari pulau mungil tersebut dengan selamat.
Perangai kami yang bertolak belakang jelas terlihat meski dengan mata telanjang dan entah mengapa hal serupa tak pernah kutemukan pada jalinan yang lain. Decka tetap menjadi sosok cewek yang berbeda dan tak terpungkiri bahwa berkat perang mulut yang kerab terjadi diantara kami, akhirnya aku bisa menyelesaikan seluruh semesterku disekolah itu dengan nilai sempurna. Semuanya berawal dari rasa malu jika harus tertinggal jauh dibelakangnya, perasaan itu berujung pada ketakutan panjang yang berhasil mendongkrak semangat belajarku agar lebih berhati hati ketika mengenyam setiap mata pelajaran tambahan tanpa harus menghentikan permainan guitarku...
Kini sepulang dari sana, tuntutan kemapanan yang harus terpenuhi sendiri mulai terasa menjerat langkahku walau sebenarnya aku tak pernah takut jika harus menjadi salah satu korban dari kemajuan zaman hanya apabila melalaikan kertas sakti pemberian pihak sekolah dihari terakhirku mengenakan pakaian seragam. Karena selebihnya nafas yang tersisa,hanya sanggup kupergunakan untuk melakukan pembenahan kemasan mimpi dalam sebuah catatan ringan berjudul “KOTA IDAMAN”.
Namun menjelang tahun ketiga, khayalan kemarin akhirnya terlahir sebagai bongkahan kenyataan. Aku berhasil menemukan Yodhe beserta keluarga besarnya secara tidak disengaja, ketika sedang mengamen disalah satu warung dadakan yang menjamur di kota itu. Akan tetapi posisi tempatku berpijak hanya ditangkap dalam tatapan sebelah mata oleh pihak keluarga Yodhe, mereka melarangku untuk kembali mendekati belia tersebut. Sejak saat itulah kuputuskan melanjutkan pendidikanku yang pernah terhenti dan menghilang dari jalanan untuk sementara waktu.
Dipelarianku, seorang saudagar yang harusnya kupanggil Ayah, memberiku pekerjaan dan peluang untuk menjadi peserta didik disebuah sekolah kejuruan milik pemerintah Kota Idaman setelah sebelumnya Beliau mengetahui keberhasilanku dalam mengikuti program belajar paket golongan B. Aku berusaha agar sebisa mungkin bertahan di sekolah itu demi membuktikan pada keluarga Yodhe bahwa "tidak semua Pecundang yang terlahir dalam lumbung keterpurukan harus berakhir dikubangan kegagalan...
Pada semester perdana menjadi salah satu peserta didik disekolah itu, batinku tiba-tiba terguncang dengan kehadiran sosok gadis bernama Malla, paras cantiknya berhasil menjadi bagian terbaik dalam bunga bunga tidurku. Kami memang berada pada tingkat dan jurusan yang sama, kesempatan inilah yang hampir kupergunakan untuk membunuh Catatan Kelam Yodhe namun akhirnya kusadari bahwa kenangan itu masih sangat membekas hingga tak mudah tergantikan. Dengan segenap kemampuan kucoba memendam perasaanku kepada Malla lebih dalam dari sebelumnya, aku yakin mampu menepis segala tentangnya pada balutan rindu yang lama terbelenggu sebuah masa lalu.
Lambat laun karena semakin sering kumenyimpannya, lamunan lamunan itu kian menyiksa. Aku terkapar dipenghujung tanduk dilema, ketika ditangan kiriku masih tergenggam Catatan Kelam Yodhe, disudut lain kudapati Baitan Bungkam Malla yang terasa kian memperbudak perasaan dalam setiap kesempatan bersama. Hal inilah yang mengajariku lari dan bersembunyi disetiap tatapan Malla yang terkadang berhasil menyentuh langkah bisuku dalam kebungkamannya.
Keterbelakanganku selama itu menjadi bomerang tajam dalam alenia ini, Malla berhasil terpikat dan dimiliki oleh beberapa rekanku sendiri yang juga menjadi peserta didik di sekolah itu, sementara aku hanya mampu bersikap tenang ketika menerima kenyataan pahit itu sebagai sebuah timbal balik dalam pendirianku. Sejak saat itulah kucoba untuk secepat mungkin menelantarkan Catatan Kelam Yodhe yang sudah cukup lama bertahan dalam pikiranku. Dari Malla, sejatinya perasaan itu tidak hanya sebatas memiliki, ia harus terbiasa memberi serta mengisi setiap keadaan yang pernah terpungkiri...
Berangkat ke semester ganjil tahun ajaran kedua, kuputuskan untuk bangun dari ketepurukan dan berusaha menanam benih kasih-sayang pada sosok perempuan bernama Wiema, salah satu peserta didik yang juga berada di posisi Malla. Disana banyak hal berbeda dari sebelumnya coba kulakuan agar dapat meyakinkan Wiema tentang kesungguhan perasaanku, aku berusaha mendapatkan daratan terlarang dalam kehidupannya dengan keadaanku yang terlihat apa adanya. Semampuku hadir disetiap lara yang coba menghantui perjalanannya disekolah itu, sungguh sepenuhnya perhatian berlebihku di dua semester pada tingkatan itu telah tertumpah hanya untuk bersama dirinya.
Namun hubungan diantara kami tidak bertahan lama ketika palung palung perbedaan semakin menjurang dan terlalu sulit untuk kujembatani, aku merasa mulai lelah berada di dua daratan berbeda, segala yang pernah kupertaruhkan selama bersama Wiema ternyata membawa pengaruh negatif pada permaian guitarku yang semakin lalai dan berantakan akibat sering absen latihan. Secepatnya kucoba memilah pijakan terakhir agar tidak jatuh dan cedera didasar jurang penyesalan, aku tidak mungkin berada di dua daratan berbeda dalam waktu yang sama, diantara Wiema dan Mereka.
Disaat kecemasanku masih bersandar pada reruntuhan ragu, seberkas cahaya terang dari satu Bintang masa silam datang mengajakku terbang menghilang. Ia mengajarkanku bahasa kegagalan untuk menebus ketenangan dimasa depan, membuatku berani lari dari Daratan Terlarang Wiema agar dapat kembali membenahi nada nada yang hilang dalam permainan guitarku dan sejak saat itulah aku terlihat semakian berani untuk berdiri menjawab hari esok...
Selepas kepergian Wiema yang pernah menemani langkahku sebelum tiba di semester ke empat, Bintang terang yang menyelamatkanku dari daratan terlarang itu sirna ketika Sang Fajar telah kutemukan. Bintang itu bernama Ameiy, sosok perempuan yang terkadang kupanggil kakak atas perbedaan usia diantara kami meski terbilang semu. Aku mengenalnya jauh sebelum ditemukan oleh mereka, kami terpisah selama beberapa tahun hingga bertemu kembali dipenghujung semester ketiga milikku. Meski usia, budaya dan iman kami berseberangan, hal itu tidak menjadi halangan berarti atau membuat kami saling menjatuhkan. Aku sangat menghargai keputusan dari kakak angkat perempuanku itu karena sebaliknya dengannya juga selalu begitu terhadapku.
Kebersamaan kami dikesempatan kedua berlangsung sangat singkat, Tuhan memanggilnya dengan jalan yang mengerikan. Ameiy tewas menggenaskan dikamar tidur kediaman pribadinya akibat penyakit serius yang sudah cukup lama diderita, sungguh aku tidak pernah menyangka jika dibalik canda tawa lesung pipitnya, terbenam sebuah penderiataan hingga berhasil menggores dalam kematian dan meski air dari mataku bicara, ia tak akan mungkin kembali kedunia, walau kucoba membeli waktu dimasa lalu hanya untuk sejenak memutar roda kehidupannya tidak akan mungkin mampu untuk mengulang semuanya seperti dulu lagi.
Selamat jalan Kak, tidurlah dengan tenang. Akan kujaga kenangan terindahmu meski kita telah didunia berbeda, karena aku tahu tidak akan ada yang mampu untuk menjadi seperti dirimu...
Disemester ini, semester kelima aku terlihat sedikit lemah setelah cukup lelah dalam mencari, membungkam, memilih dan mempertahankan. Ketika segenap hasratku untuk mengejar insan hawa secara berlebihan mulai tumbang, sosok cewek bernama Decka terperangkap menemani keseharianku disebuah pulau mungil dalam perjalananku mengarungi semester itu. Pihak sekolah mungkin telah salah kaprah ketika harus memilih Decka sebagai salah satu rekan timku di ekspedisi hijau itu, aku dan dia punya sejuta sifat mencolok dari dua kutub berbeda. Decka anak yang rajin belajar, taat beribadah dan gemar menabung juga setia kawan. Sedangkan semua tentangku adalah bagian yang tidak mungkin ada dalam dirinya, membuat kami sangat mustahil dapat hidup dengan rukun di pulau mungil tersebut karena disepanjang perjalanan, kami hanya melakukan pertempuran pendapat dan saling silang siasat yang teramat dasyat ketika diperkenankan memilih jawaban untuk mencari jalan keluar dari pulau mungil tersebut dengan selamat.
Perangai kami yang bertolak belakang jelas terlihat meski dengan mata telanjang dan entah mengapa hal serupa tak pernah kutemukan pada jalinan yang lain. Decka tetap menjadi sosok cewek yang berbeda dan tak terpungkiri bahwa berkat perang mulut yang kerab terjadi diantara kami, akhirnya aku bisa menyelesaikan seluruh semesterku disekolah itu dengan nilai sempurna. Semuanya berawal dari rasa malu jika harus tertinggal jauh dibelakangnya, perasaan itu berujung pada ketakutan panjang yang berhasil mendongkrak semangat belajarku agar lebih berhati hati ketika mengenyam setiap mata pelajaran tambahan tanpa harus menghentikan permainan guitarku...
Kini sepulang dari sana, tuntutan kemapanan yang harus terpenuhi sendiri mulai terasa menjerat langkahku walau sebenarnya aku tak pernah takut jika harus menjadi salah satu korban dari kemajuan zaman hanya apabila melalaikan kertas sakti pemberian pihak sekolah dihari terakhirku mengenakan pakaian seragam. Karena selebihnya nafas yang tersisa,hanya sanggup kupergunakan untuk melakukan pembenahan kemasan mimpi dalam sebuah catatan ringan berjudul “KOTA IDAMAN”.